Sejarah Pekabaran Injil (awal mula masuknya kristen) di Wilayah Rongkong

Pada tahun 1927 misionaris pertama Ds. Harm Jan Van Weerden (dari belanda) dating di Toraja bersama dengan istrinya. Mereka melaksanakan tugas pelayanan untuk mengabarkan Injil keselamatan. Setahun kemudian (1928), ia mulai menjelajahi daerah Rongkong dan Seko yang ditempatkannya sebagai tempat untuk melaksanakan pekabaran injil. Ia kemudian mempelajari adat istiadat, bahasa, kebudayaan dan kepercayaan dari penduduk setempat, serta mempelajari kondisi alam dari daerah pelayanannya.
Pada tahun 1931, ia membuat Rumah Seratus Jendela di Salutallang (daerah perbukitan di Rongkong) rumah ini sangat besar dan banyak jendelanya. Rumah ini juga berfungsi sebagai poliklinik untuk mengobati orang-orang sakit, serta sebagai tempat pendidikan putra-putri Rongkong. Ia juga mengambil alih penyelenggaraan sekolah-sekolah lancap (sekolah pemerintahan pada zaman belanda) menjadi sekolah-sekolah Kristen yang bersubsidi. Ia juga membuka sekolah-sekolah swasta di tempat-tempat yang belum ada sekolahnya. Guru-guru di sekolah ini juga mengabarkan injil bersama guru Injil dan Pendeta. Karna itu, pekabaran Injil di Rongkong-Seko hampir merata.
Pelayanan misionaris pertama ini sangat disenangi di Rongkong-Seko. Namun, perubahan politik karena pecahnya Perang Dunia ke-2 menyebabkan  Ds. Harm Jan Van Weerden dan sekeluarga harus meninggalkan Indonesia (1942) atas perintah penguasa Jepang. Kurang lebih  setahun kemudian, Ds. Piter Sangka’ Palisungan menjadi misionaris ke-2 di Rongkong-Seko sekaligus juga menjadi Pendeta pertama orang Toraja dan menjadi Gembala sidang di Rongkong. “sebelumnya (pada tanggal 26 Oktober 1941), Ia ditahbiskan bersama T.S Lande’, dan J. Tappi’ menjadi Pendeta (yang di tahbiskan oleh Zending) untuk menggantikan Zending setelah Perang Dunia ke-2 pecah”.
Ds. Piter Sangka’ Palisungan diutus oleh Pendeta Jepang Ds. Susho Mijahera (tahun 1943) untuk melayani jemaat-jemaat di Rongkong-Seko menggantikan Pendeta Zet Tawalujan yang sudah di mutasi ke Palopo bersama Guru Injil Lumeno sampai tahun 1953 (tahun ketika para martir di tangan penguasa DI/TII). “Ia juga mulai menetap dan tinggal di Rumah Seratus Jendela bersama keluarganya saat pengutusannya”.
Ds. Piter Sangka’ Palisungan melayani 5 Klasis yaitu:
1. Klasis Seko Lemo: Jemaat Baroppa’ dengan cabang kebaktian Buakayu, Jemaat Kariango, Jemat Lantang Tedong, Jemaat Pohoneang, Jemaat Ambolong, dan Calon Jemaat Ba’ba-ba’ba dan Harjane.
2. Klasis Seko Padang: Jemaat Wono dengan Cabang kebaktian Tanete, Jemaat Bengke, Jemaat Lodang, Jemaat Singkalong, Jemaat Kalamio’ dan Jemaat Busak.
3. Klasis Ulusalu: Jemaat Limbong, Jemaat Salutallang, Jemaat Ambona Ponglegen, Jemaat Uri’ Banalu, Jemaat Mangenan Kawalean, Jemaat Komba Palawean, dan Cabang Kebaktian Salurante, Jemaat Lawarang dan Jemaat Buntubai.
4. Klasis Kanandede: Jemaat Kanandede, Jemaat Eki, Jemaat Nase, Jemaat Salukanan, Jemaat Pontattu’, Jemaat Tanete Lagia, dan Cabang Kebaktian Dango.
5. Klasis Masamba: Jemaat Masamba, Jemaat Mariri, Jemaat Tabuan, Jemaat Uraso, Jemaat Bone-Bone dan Jemaat Lampuawa.
(Klasis ini di sahkan dalam Sidang Partikulir Sinode Pertama tahun 1936)
Semua orang yang masih beragama Suku di Rongkong-Seko diperintahkan oleh Tentara Keamanan Rakyat untuk memilih Salah satu dari Agama, yaitu Islam atau Kristen. Kesempatan memberikan pilihan  diberikan dari bulan Juli sampai bulan Agustus pada tahun 1952. Hasilnya adalah: di Rongkong 60% yang beragama Suku memilih masuk Agama Kristen, sedangkan 40% masuk Agama Islam. Di Seko 80% yang beragama Suku masuk ke Agama Kristen sedangkan 20%  memilih masuk Agama Islam. Sejak saat itu tidak ada lagi Agama Suku di Wilayah Rongkong-Seko dan toleransi beragama saat itu sangat tinggi.
Pada tahun 1952 diadakan babtisan missal terhadap ribuan orang yang baru masuk Kristen di daerah Rongkong-Seko. Babtisan missal dilaksanakan oleh Ds. Piter Sangka’ Palisungan dan Ds. Marthen Geleijnsen (tenaga Zendeling yang bertugas d Mamasa). Sejak saat itu jumlah orang Kristen semakin bertambah di Rongkong-Seko, sehingga ibadah hari Minggu diadakan dua kali di setiap jemaat. Gedung-gedung gereja diusahakan untuk diperbesar.
Pembantaian Agama Kristen di Wilayah Rongkong dan Riwayat Ds. Piter Sangka’ Palisungan
Namun pada saat itu sukacita dan pertambahan jemaat tidak bertahan lama. Pihak pemberontak (Abdul Kahar Muzakkar) sangat marah dan dendam melihat kenyataan itu karna tidak sesuai dengan cita-cita perjuangan mereka. Pada tanggal 17 Agustus 1953 di Makkalua’ Badjo’, Abdul Kahar Muzakkar memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia. Sejak saat itu nama TKR di ubah menjadi (DII/TII). Dan pada saat itu juga terjadilah penyiksaan terhadap orang-orang Kristen. Pada saat itu juga banyak orang meninggalkan Rongkong. Namun Ds. Piter Sangka’ Palisungan tidak mau meninggalkan Rongkong-Seko karna ia mempunyai pendirian yang tidak mau meninggalkan jemaat yang masih bertahan di Rongkong-Seko.
Suatu malam Pada akhir Juli 1953, Ds. Piter Sangka’ Palisungan diculik oleh  Gerombolan DI/TII, ia bersama 100 orang pemuka Agama Kristen dibawa ke  markas besar  DI/TII di daerah Waelawi, Cappa’ Solo’, Kabupaten Luwu’. Pada saat itu juga orang-orang yang beragama Kristen di Wilayah Rongkong-Seko dipaksa masuk Islam dan hukum Islam pada saat itu diberlakukan bagi semua penduduk.
Ds. Piter Sangka’ Palisungan bersama dengan dua orang guru jemaat (H. Djima’ dan L. Sodu) memilih mati dibunuh daripada menyangkal Tuhan Yesus yang telah diterimanya sebagai Juruselamat satu-satunya. Akhirnya mereka mati di tangan penguasa DI/TII di Capa’ Solo. Di Rongkong di sebua sekolah, ada seorang Wanita yang masih muda yang diikat di tiang yang ada di tengah lapangan, yang di tembak mati oleh Gerombolan DI/TII karna kata orang wanita itu berzina.
Pada bulan oktober 1953, datanglah Gerombolan membawa sepucuk surat (yang diketik)  kepada Damaris Upa (istri Ds. Piter Sangka’ Palisungan) yang menyatakan bahwa Ds. Piter Sangka’ Palisungan masih hidup dan ia ada di Markas DI/TII menunggu kedatangan keluarganya serta meminta uang, pakaian dan kebutuhan-kebutuhan lain yang diperlukannya. Tapi istrinya tidak percaya akan surat itu meskipun ada tanda tangan suaminya, karna setelah dibawa oleh Gerombolan, Piter Sangka’ Palisungan menulis surat dengan tulisan tangan yang berisi bahwa ia tidak akan kembali lagi dan menasehati Damaris Upa (istrinya)  untuk menjaga anak-anaknya.
Bulan September 1953, di Pohoneang (Seko), ada juga delapan pemuda di tahan karna imannya. Namun pada persidangan, dua diantaranya di bebaskan karna bersedia menyangkal imannya, yang enam di jatuhkan hukuman mati termasuk P. Panuda (siswa SMP Palopo). Sejak peristiwa itu orang Seko mulai mengungsi ke Utara atau ke Barat.
Karna sudah tersebarnya pengusiran keluarga Ds. Piter Sangka’ Palisungan dari rumah seratus jendela maka Damaris Upa bersama anak-anaknya meninggalkan rumah itu yang di bantu oleh warga Rongkong-Seko. Setelah itu mereka mendapat kabar bahwa Rumah Seratus Jendela Itu sudah dibakar oleh Gerombolan DI/TII.
Pada bulan Desember 1966, makam misioner ke-2 (Ds. Piter Sangka’ Palisungan) dan dua orang temannya sudah ditemukan, informasi ini di dapatkan dari seorang nelayan yang bernama Lasuppu’ (penduduk asli Cappa’ Solo’, kec Malangke) yang tau lokasi kuburan mereka karna ia hadir pada saat mereka di eksekusi mati oleh Gerombolan DI/TII dan ia juga yang menimbun mereka agar mayatnya tidak dimakan binatang, ia juga menanami pohon di atas timbunan kuburan mereka. Rombongan Orang-orang bersama keluarga menyiapkan tiga peti dan pergi mengambil mayat tersebut (sisa tulang), kemudian tulang-tulang tersebut di bersihkan dan memasukkannya kedalam peti. Ketiga peti tersebut di usung oleh pemuda-pemuda Kristen di sabbang menuju gereja Toraja di sabbang dan diadakan ibadah bersama, peti jenazah martir Ds. Piter Sangka’ Palisungan di teruskan ke Palopo dan disambut oleh jemaat setempat, dan diusung oleh para pendeta dan pastor menuju Gereja Toraja  di palopo. Ds. Piter Sangka’ Palisungan di makamkan di tempat kelahirannya di Nonongan, Kadundung dalam patane keluarga yang sudah disiapkannya sebelum berangkat ke Rongkong-Seko.[1]

Sumber:
[1] Lembe’, Hermin dan Sangka’. RUMAH SERATUS JENDELA (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007)
Diterbitkan oleh rifkykristiawan

Posting Komentar

Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.